Pendahulan
”Beri aku sepuluh pemuda, maka akan
kugoncangkan dunia,” inilah sebuah ungkapan yang pernah dilantunkan sang
orator ulung yang pernah di kenal dunia, sekaligus presiden perdana
yang pernah memimpin Indonesia, ketika ia menyanjung betapa pentingnya
keberadaan sebuah komunitas pemuda dalam suatu bangsa dan negara, dalam
sejaran Indonesia dari prolog sampai epilog kemerdekaan, pemuda memiliki
peranan luar biasa sebagai “avant garde” (ujung tombak) perubahan.
Tonggak kebangkitan lahirnya kesadaran “berbangsa”, peran tersebut dapat
dilihat sejak para pemuda membuat “komunike politik kebangsaan” 28
Oktober 1928. “Satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa”.
Berbagai hal menyangkut perubahan dan
pembangunan, selalu dikaitkan dengan adanya campur tangan peranan
pemuda. Sejarah membuktikan itu, di berbagai belahan dunia perubahan
sosial politik menempatkan pemuda di garda depan. Peranannya menyeluruh,
tak hanya menjadi seperti mata air, tapi juga hulu, hilir sampai muara.
Bahkan pemuda sebagai air atau sumber energi perubahan. Tak
tanggung-tanggung pemimipin besar seperti Bung Karno (Presiden RI
Pertama) mengungkapkan kata-kata pengobar semangat “Beri aku sepuluh
pemuda, maka akan kugoncangkan dunia,” yang disampaikan dalam pidato
kenegaran di masa jayanya. Dalam pikirannya pemuda digambarkan sosok
unggul, pilihan, bergairah, bergelegak dan bergelora secara fisik,
psikis, intelektual, serta yang terpenting sikapnya. Pemuda sosok
superior, progresif, revolusioner dengan api berkobar-kobar, dan bara
spirit yang menyala-nyala.
Dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesian, pemdua selalu menempati peran yang sangat strategis dari
setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa
pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan
penjajahan Belanda dan Jepang ketika itu. Peran tersebut juga tetap
disandang oleh pemuda Indonesia hingga kini, selain sebagai pengontrol
independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan
penguasa, pemuda Indonesia juga secara aktif melakukan kritik, hingga
mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berihak
ke masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada kasus jatuhnya pemerintahan
Soekarno oleh gerakan pemuda, yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan
aksi mahasiswa dan pemuda tahun 1966. Hal yang sama juga dilakukan oleh
pemuda dalam menumbangkan pemerintahan Soeharto 32 tahun kemudian. Peran
yang disandang pemuda Indonesia sebagai agen perubahan (Agent of
Change) dan agen kontrol sosial (Agent of Social Control) hingga saat
ini masih sangat efektif dalam memposisikan peran pemuda Indonesia.
Era reformasi yang bergulir sejak tahun
1988 (di mana pemuda juga punya peran luar biasa), banyak orang kecewa.
Reformasi tidak jadi katalisator proses pencerahan kehidupan berbangsa
dan bernegara, malah sebaliknya. Sekarang pemuda lebih banyak melakukan
peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan
peranan sebagai kelompok social, sehigga kemandirian pemuda sangat sulit
berkembang dalam mengisi pembangunan ini. Peranan pemuda dalam kegiatan
sosial itu sangat dibutuhkan untuk mengisi pembangunan dengan
menciptakan kewirausahaan dalam pembangunan dan meningkatkan pengetahuan
tentang ilmu dan teknologi serta menumbuh kembangkan jiwa kepeloporan,
daya pikir, inovasi, kreativitas dan kewiraushaan pemuda dalam rangka
mempersiapkan pemimpin masa depan berkualitas.
Kita menginginkan gerakan pemuda ke
depan nanti adalah gerakan yang profesional dengan didasari pada
keimanan dan ketaqwaan dalam arti menjauhi segala bentuk yang dilarang
agama serta aturan yang berlaku di negara ini.
Aktivitas Mahasiswa Dalam
Mengisi Reformasi
Sejarah menunjukkan bahwa selain
aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan
internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan
momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam
perubahan politik nasional menjadi sangat penting, dapat kita lihat
sejak awal lahir dan keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak
awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka
sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran
strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat
aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai
anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan
dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama
dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya.
Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar
belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan
gerakan mahasiswa.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa
merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan
dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di
masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari
civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang
dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan
dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam
proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah
gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa
secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihapai
masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Harus diakui, mahsiswa hanyalah salah
satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi.
Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu
mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan
perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan
lainnya, seperti kalangan cendekiawan, polisi, militer, dan elemen
masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi
mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan
berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang
masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada
keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran
sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana,
menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa
kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti
kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi
faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan.
Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok
pengikut (kelompok kesiangan) setelah perubahan berlangsung.
Adapun munculnya munculnya kelompok
kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap perubahan
sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah
proses inovasi dalam perubahan sosial. Hadley Read (1979) mengatakan
bahwa biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor
(earlier adopters) yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil
komponen masyarakat lainnya masuk dalam kelompok ini.
Setelah kelompok pelopor melakukan
sosialisasi dalam waktu tertentu, barulah muncul kelompok kesiangan
(later adopters) yang jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa
kelompok kecil yang menolak sama sekali inovasi yang sudah memasyarakat
itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung status quo (non adopters).
Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat dalam setiap
perubahan sosial yang tengah berlangsung. Mereka adalah kelompok
masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah
sistem yang menguntungkan mereka. Kelompok ini juga yang diidentifikasi
oleh mahasiswa sebagai musuh mereka.
Klasifikasi di atas tidak hanya berlaku
umum dalam masyarakat ketika perubahan berlangsung, ia juga terjadi
dalam tubuh mahsiswa sendiri. Di kalangan mahasiswa juga terdapat
mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier adopters. Mereka
adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa, mereka biasanya
diidentifikasi dengan sebutan aktivis mahasiswa. Namun, sebagian besar
mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit
yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di
kalangan mahasiswa bukanlah musuh dalam arti yang sebenarnya dalam
sebuah gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat
umum. Kelompok mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan
pentingnya melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian, peran sebagai garda depan perubahan dalam arti
sesungguhnya pada dasarnya hanya layak disandingkan pada kalangan
aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan.
Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda
depan yang menggerakkan sebuah proses gerakan mahsiswa.
Selain itu, intensitas sebuah gerakan
dalam proses perubahan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua konsisi, yakni
:
Pertama, kondisi subyektif berupa
hal-hal yang berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar
belakang sosial, ideologi dan idealisme yang terbangun. Kedua, kondisi
objektif adalah tatanan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi
proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa akan menguat tatkala
kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya
momentum-momentum perubahan sosial dan politik Negara Indonesia.
Peran Mahasiswa Dalam
Menunjang Kemajuan Bangsa
Mahasiswa memang menjadi komunitas yang
unik di mana dalam catatan sejarah perubahan selalu menjadi garda
terdepan dan motor penggerak perubahan. Mahasiswa di kenal dengan jiwa
patriotnya serta pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Namun hanya
sedikit rakyat Indonesia yang dapat merasakan dan punya kesempatan
memperoleh pendidikan hingga ke jenjang ini karena sistem perekonomian
Indonesia yang kapitalis serta biaya pendidikan yang begitu mahal
sehingga kemsikinan menjadi bagian hidup rakyat ini. Dalam tulisan ini
penulis memetakan ada empat peran mahasiswa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab yang akan dipikul.
Peran Moral
Mahasiswa yang dalam kehidupannya tidak
dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah
meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar. Jika
hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura dan
kesenangan) maka berarti telah berada persimpangan jalan. Jika mahasiswa
hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin
pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang perubahan di negeri ini,
jika hari ini mahsiswa lebih suka dengan kegiatan festival musik dan
kompetisi (entertainment) dengan alasan kreatifitas, dibanding
memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan
kreatifitasnya pada hal-hal yang lebih ilmiah dan menyentuh ke rakyat
maka mahsiswa semacam ini adalah potret generasi yang hilang yaitu
generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
seorang pemuda dan mahsiswa.
Peran Sosial
Mahsiswa harus
menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain
solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat
kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh
serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa
melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat penderitaan rakyat,
tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja.
Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan
baik moril maupun materiil bagi siapa saja yang memerlukannya. Sebagai
contoh di Kalimantan Barat pada tahun 1998 s/d 2000 pernah terjadi
gelombang pengungsian besar-besaran akibat konflik sosial di daerah ini,
maka mahasiswa harus ikut memperhatikan masalah ini dengan memberikan
bantuan baik secara moril maupun maeriil serta pemikirannya serta ikut
mencarikan solusi penanganan bencana kemanusiaan ini. Betapa peran
sosial mahasiswa jauh dari pragmatisme, dan rakyat dapat merasakan bahwa
mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari rakyat,
walaupun upaya sistematis untuk memisahkan mahasiswa dari rakyat telah
dan dengan gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak ingin rakyat ini
cerdas dan sadar akan problematika ummat terjadi.
Peran Akademik
Sesibuk apapun
mahasiswa turun ke jalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya,
sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu
lupa bahwa adalah insan akademik. Mahasiswa dengan segala aktivitasnya
harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya
selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang
anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan
itu, untuk mengukir masa depan yang cerah. Peran yang satu ini teramat
sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita dengan
komonitas yang lain, peran ini menjadi simbol dan miniatur kesuksesan
kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita. Jika memang
kegagalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit, nasi sudah jadi
bubur maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi bubur ayam
special. Artinya, jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah bangkit
serta mencari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan diri
meraih masa depan yang cerah dunia dan akherat.
Peran Politik
Peran politik adalah peran yang paling
berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group
(group penekan) bagi pemerintah yang zalim. Oleh karena itu, pemerintah
yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil
peran yang satu ini. Pada masa orde baru di mana daya kritis rakyat itu
di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung di
cap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara. Pemerintah orba tidak
segan-segan membumi hanguskan setiap orang-orang yang kritis dan
bersebrangan dengan kebijakan pemerintah. Dalam dunia kampus pada tahun
1984 lewat menteri pendidikan Daud Yusuf pemerintah mengeluarkan
kebijakan NKK/BKK (Normalisasis Kehidupan Kampus) yang melarang keras
mahasiswa beraktifitas politik. Dan kebijakan ini terbukti ampuh
memasung gerakan-gerakan mahasiswa yang membuat mahasiswa sibuk dengan
kegiatan rutinitas kampus sehigga membuat mahasiswa terpenjara oleh
sistem yang ada.
Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis
yang penuh dengan kreatifitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyakan pada diri kita
yang memegang label mahasiswa, sudah seberapa jauh kita mengambil peran
dalam diri kita dan lingkungan.
Tantangan Mahasiswa dan Pemuda
Dalam dan Usaha Memajukan Bangsa
Pembangunan pemuda mempunyai peran
strategis dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas. Pemuda merupakan generasi penerus, penanggung jawab dan
pelaku pembangunan masa depan. Kekuatan bangsa di masa mendatang
tercermin dari kualitas sumber daya pemuda saat ini. Untuk itu, pemuda
harus disiapkan dan diberdayakan agar mampu memiliki kualitas dan
keunggulan daya saing guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta
tantangan dan persaingan di era global. Permasalahan dan tantangan yang
dihadapi dalam pembangunan pemuda adalah :
- Masih rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperoleh
pendidikan;
- Masih rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja pemuda;
- Belum serasinya kebijakan kepemudaan di tingkat nasional dan daerah;
- Rendahnya kemampuan kewirausahaan di kalangan pemuda;
- Tingginya tingkat pengangguran terbuka pemuda;
- Maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda, seperti
kriminalitas, premanisme, NAPZA, dan HIV/AIDS;
- Masih rendahnya pembinaan dan perhatian terhadap pemuda dan
Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP).
Semangat perjuangan sebenarnya sudah
menjadi bagian penting dari pemuda Indonesia sejak dulu. Dari sanalah
semangat kepemudaan harus dipupuk dan dipertahankan. Semangat kepemudaan
seharusnya tak boleh hilang diterjang sebagai godaan dan tantangan.
Seharusnya semakin banyak tantangan, maka semangat kepemudaan itu
semakin membaja, semakin kuat dan semakin terlatih. Tantangan besar
sesungguhnya yang dihadapi para pemuda dewasa ini adalah menghadapi
globalisasi beserta dampak dan pengaruhnya yang terbilang luar biasa.
Anak-anak muda sekarang lebih bangga
jika dapat berperilaku kebarat-baratan, mulai dari gaya pakaian,
makanan, bahkan sikap dan pandangan hidup. Stereotype gaya hidup
hura-hura itu ditunjukkan secara gamblang lewat stasiun televisi mulai
dari gaya sinetron dengan pendekatan serba hedonis, hingga acara kontes
menyanyi seperti Indonesian Idol atau AFI (Akademi Fantasi Indosiar).
Anak muda sekarang lebih semangat memacu diri lewat “jalan pintas”
menjadi penyanyi terkenal, artis lalu banyak penggemar dan kaya lewat
profesi yang serba gemerlap. Cuma segelintir pemuda negeri ini yang
lebih keras berupaya dalam hal prestasi dengan kegemilangan pengetahuan,
penelitian, atau memeras otak dan keringat dari intelegensinya.
Kebanyakan anak muda justru ternina bobo oleh angan-angan kosong yang
ditawarkan sistem kapitalisme, tanpa menyadari bahwa “perjuangan” mereka
di jalur serba hedonis, hanya bisa dikategorikan dan menjadi sebuah
perjudian atau harapan fatamorgana.
Kesadaran kolektif untuk menjadikan
peran pemuda di tengah masyrakat lebih konkret lagi, perlu adanya
kesadaran kolektif para pemuda pada perjuangan yang sesungguhnya.
Anak-anak muda perlu diberikan stimulant besar untuk dapat kembali ke
jalan kebenaran, mempertahankan semangat perjuangan dan kepemudaan. Hal
yang perlu pertama kali disikapi adalah tujuan ideal yang akan dicapai
oleh para pemuda itu, bukan hanya sekedar tujuan antara “perjuangan”
para anak muda dalam kontes menyanyi, mungkin dapat dikatakan sebagai
upaya untuk dapat mencari eksistensi diri. Namun perlu diingat bahwa
“perjuangan” itu hanya sekilas, menjadi eufora sesaat, tanpa ada makna
yang lebih luas secara sosial dan bagi kemanusiaan. Pemuda perlu
mendefinisikan kembali tujuan dan visi hidupnya secara kolektif. Dari
sini kemudian akan ada kesadaran kolektif untuk melanjutkan peran yang
diwariskan para pemuda sebelumnya. Sebab, hanya dengan semangat,
kolektivitas, dan tekad yang kuat, bangsa ini dapat kembali berjaya dan
bangkit dari keterpurukan. Jika dilihat berbagai catatan dan berbagai
predikat yang disandang Indonesia, maka anak yang baru lahir pun mungkin
akan malu menjadi orang Indonesia. Bahkan ada buku yang berjudul
seperti itu: Aku Malu Menjadi Orang Indonesia. Berbagai “rekor” memang
ditorehkan negeri ini, dengan label buruk. Kualitas sumber daya manusia
(SDM) Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di
dunia. Sementara itu, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand
masing-masing berada pada peringkat ke-41 sampai 44. Posisi negeri ini
bahkan di bawah Vietnam yang baru bangkit dari perang dengan Amerika.
Jika diamati pula indeks pembangunan manusia Indonesia, maka akan
dilihat fakta yang terus menurun dalam lima tahun belakangan ini. Pada
tahun 1995, Indonesia menduduki peringkat ke 104 dunia, jauh di atas
Vietnam yang saat itu berada di peringkat 120 dunia. Ironisnya, dalam
tahun 2005 ini peringkat Indonesia merosot ke urutan 110 dunia sedangkan
Vietnam naik menjadi peringkat 108 dunia. Utang luar negeri yang
ditanggung Indonesia kini mencapai Rp 1.300 triliun lebih yang bila
dibagi rata untuk seluruh penduduk Indonesia, mencapai rupiah 6,5 juta
perorang. Transperancy Internasional yang bermarkas di Berlin pun
mengumumkan peringkat indeks korupsi tahun 2005, dan Indonesia menempati
ranking ke 137 dari 159 negara di dunia. “Luar Biasa”.
Indonesia mungkin dapat menjadi negara
yang memaluka dalam berbagai hal, hingga saat ini. Namun ini tentu tak
boleh dibiarkan berlarut. Bagaimanapun, harga diri bangsa sudah eksis
dan didengungkan dari awal. Berkaca pada pepatah melayu lama, sekali
layar terkembang, pantang surut kebelakang. Maka tentunya perlu dibentuk
kesadaran kolektif terhadap bangsa ini mengenai eksistensi, kemandirian
dan harga diri bangsa. Itu sebenarnya harus dimulai dari generasi muda
seperti halnya kemerdekaan bangsa, kebangkitan bangsa sejak kelahiran
Boedi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan yang
semuanya digerakkan oleh motor utama para pemuda. Tentunya diperlukan
pemuda-pemuda yang tangguh, bukan para pemuda yang cengeng, atau
bermental hedonis. Maka, “cita-cita ideal Bung Karno” pemuda tangguh
Indonesia akan benar-benar mampu mengguncang dunia, bukan hanya sekedar
orasi dan lips service semata. Mudah-mudahan.
Penutup
Pemuda sebagai ujung tombak yang
menjelma menjadi sebuah amunisi dari maju mundurnya sebuah bangsa harus
senantiasa siap untuk selalu berkiprah dan memberikan sumbangsihnya
untuk kemajuan Negara kita. Sebagai mana yang telah diharapkan oleh
proklamator tanah negeri ini. Dengan harapan mudah-mudahan pemuda pemudi
dan generasi penerus harapan bangsa, dapat menjelma menjadi
soekarno-soekarno masa depan, yang senantiasa menjadi motor pergerakkan
kemajuan bangsa.